www.salafy-indon-kw13.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 23 April 2012

Sejarah Konflik Salafy di Indonesia

Perkembangan gerakan salafy di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari dinamika internasional sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan boleh dikatakan, dinamika gerakan salafy Indonesia sebagian besar merupakan perpanjangan dari perkembangan internasional.

Sama seperti kecenderungan internasional, gerakan salafy baru muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu PengetahuanIslam dan Bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid tokoh utama salafy Syeikh Abdullah bin Baz.

LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyad, staf pengajar pun didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang membuat banyak mahasiswa tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa uang kuliah dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga menjanjikan para alumninya untuk bisa melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas Riyad di Saudi.


Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka di kalangan salafy. Diantaranya adalah Yazid Jawwas, aktif di Minhajus-Sunnah di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida''ulIslam, Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jama'ah; and Yusuf Utsman Bais’a direktur al-Irsyad Pesantren, Tengarang.

Sebagaimana ciri umum salafy, generasi 1980-an LIPIA tersebut sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama'ah Tabligh dan Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka yang berorganisasi, dengan sesama salafy yang berorganisasi-pun mereka menolak untuk dibantu secara keuangan.
  Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar Thalib. Dia adalah lulusan pertama LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan dakwah salafy di Indonesia. Diantara lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman pada tahun 1991 untuk belajar pada Syeikh Muqbil ibn Hadi al-Wad'i, di Dammaz, Yaman.Seperti sudah disinggung sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafy puritan. Karakter ini akan menurun pada Ja'far. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan Syeikh Sahwah Islamiyah. Karena as-Sahwah terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka pandangan Yusuf Baisa nantinya juga sangat berbeda dengan Ja'far.


Pembentukan Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jama’ah (LJASWJ)
Ja’far Umar Thalib, namanya menjadi terkenal setelah menjadi komandan pasukan Laskar Jihad Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, yang memimpin pasukan perang ke Ambon pada tahun 2001. Dalam mendirikan Laskar Jihad Ahlu Sunnah Wal Jama'ah Ja’far tidak sendiri, namun didampingi muridnya Muhammad Assewed.

Adapun yang melatar belakangi pemikiran Ja’far dan Assewed untuk membentuk laskar Jihad adalah sebagai berikut;

Pertama, kerusuhan di Ambon dari hari ke hari tidak menunjukan ke arah yag semakin membaik.
Kedua, korban dari kalangan muslim terus berjatuhan dan semakin banyak.
Ketiga, keresahan dan kemarahan sudah tampak pada kaum muslimin di Indonesia, namun mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Keempat, Pemerintah tak berdaya menghadapi para perusuh tersebut yang dengan leluasa membunuhi kaum muslimin di Ambon.
Kelima, sementara itu, kaum muslimin hanya yang berada di luar Ambon hanya bisa berdemonstrasi yang sama sekali tidak meringankan beban mereka yang berada di Ambon.

Dari keprihatinan tersebut diatas, Muhammad Assewed beserta Ja’far Umar Thalib mengadakan telaah kitab baik al-Qur’an maupun as-Sunnah untuk mendapat kepastian tindakan apa yang harus dilakukan.

Setelah mendapat landasan teologis, keduanya berangkat ke Timur Tengah untuk berkonsultasi dengan para guru, tindakan apa sekiranya yang harus dilakukan.

Ulama-ulama Salafy yang dimintai fatwanya oleh Ja’far mengenai Jihad ke Ambon diantaranya adalah Syeikh Abdul Muhsin al-'Abbad, ahli hadith dari Madinah, ‘wajib menolong orang muslim yang di dzalimi’. Syeikh Ahmad an-Najmi, anggota dewan ulama, mengatakan wajib hukumnya untuk menolong muslim yang di dzalimi, dan menjadi penting untuk tidak langsung terjun ke arena pertempuran tanpa memiliki persiapan dan konsultasi yang bagus.

Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja'far di Yaman mengatakan bagi muslim Indonesia menjadi kewajiban masing-masing individu untuk membela saudara muslim lainnya. Syeikh Rabi' bin Hadi al-Madkholi dari Madinah mengatakan Jihad adalah wajib untuk semua muslim sebab saudara-saudara mereka telah diserang oleh orang Kristen. Syeikh Wahid al-Jabiri mengatakan dibolehkan dalam hukum Islam untuk mempertahankan saudaranya yang tengah diserang. Syeikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali, dari Madinah mengatakan wajib jihad menolong saudaranya yang diserang.

Dari berbagai kajian dan konsultasi, maka disimpulkan untuk berangkat jihad ke Ambon secara organisatoris. Perlunya organisasi untuk berangkat ke Ambon dalam rangka mengatur strategi dan mobilisasi massa. Maka dibentuklah Imarah (kepemimpinan) kaum muslimin dalm menjalankan jihad fi sabilillah. Untuk menghindari segala fitnah yang mungkin terjadi maka imarah diberi nama dengan nama Imarah Jihad Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yang dipimpin atau panglima tertinggi Ja’far Umar Thalib, sedangkan Assewed bertindak sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamaah, posisi yang sangat penting setelah Ja’far Umar Thalib.

Sepulang dari Jihad Ambon, Ja’far lalu membubarkan Laskar Jihad ahlu sunnah wal Jama'ah, sebab Ja’far khawatir laskar Jihad akan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Selain itu juga memang mulai banyak kritik dari kalangan salafy lainnya, bahwa laskar jihad sudah menjadi gerakan hizbiyah, dimana hal ini sangat bertentangan dengan manhaj salafy.

Selebihnya untuk mewadahi alumni laskar jihad, maka dibentuklah Forum Komunikasi Ahl Sunnah Wal Jama’ah (FKASWJ), lembaga ini tak lebih dari sekedar lembaga paguyuban, tempat berkumpul dan bersilaturahmi. Meski demikian, FKASWJ menjadi identitas kelompok tersendiri dikalangan salafy.
Mereka yang tergabung dengan FKASWJ – khususnya sebelum Ja’far Umar Thalib dinyatakan keluar dari salafy – umumnya beraliran salafy puritan dan berkiblat ke Salafy Arab Saudi.


Konflik Salafy
Perkembangan salafy di Indonesia ternyata rawan konflik. Sumber konflik pertama adalah bias konflik di level internasional. Di Indonesia, hal ini termanifestasikan dalam tindakan saling kecam antara mereka yang tergabung dalam salafy puritan dan mereka yang terkait dengan jaringan Sururiah. Sedang konflik kedua adalah ketegangan guru-murid karena ulah sang murid yang dianggap melenceng oleh sang guru. Tipe konflik kedua inilah yang dialami oleh Ja'far Umar Thalib. Sedang konflik ketiga adalah konflik sesama ulama salafy.

Ada dua konflik besar yang terjadi dikalangan Salafy, pertama konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa. Kedua konflik Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed, dan Yazid Jawwaz. Konflik ini berimplikasi pada jaringan mereka yang terpecah-pecah. Muara dari pertikaian adalah munculnya dua group besar mengikuti pembelahan di level internasional: Sururi dan Puritan.

Konflik pertama, antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa sampai pada tahap mubahalah (beradu do’a, siapa yang berbohong akan celaka). Yusuf Baisa seperti juga Ja'far Umar Thalib merupakan alumni pesantren PERSIS Bangil. Keduanya melanjutkan studi ke LIPIA. Namun, Yusuf Baisa meneruskan ke Riyadh sedangkan Ja'far meneruskan ke Yaman.

Sekembali dari Yaman, Ja'far Umar Thalib mendengar khabar bahwa Yusuf Baisa mengkampanyekan pandangan yang berbeda dengan salafy. Yusuf Baisa mengatakan agar dakwah menjadi efektif, maka harus mempunyai kemampuan berorganisasi seperti kalangan Ikhwan al Muslimun, bijaksana seperti Jama’ah Tabligh, dan mempunyai ilmu pengetahuan seperti Salafy, dalam hal saling memahami masalah aqidah. Sebagian pendengar menyampaikan pernyataan ini pada Ja'far.
 
Ja'far mendengar berita ini sangat marah sekali pada Yusuf, karena menganggap gerakan Salafy seperti gerakan Ikhwan yang terorganisir. Abu Nida' coba mendamaikan keduanya, berlaku sebagai mediator. Yusuf dan Ja’far bertemu dan untuk memberikan klarifikasi, hal ini terjadi di rumah Ja’far dan dipimpin oleh Abu Nida’ dan dihadiri oleh tiga pemimpin Salafy lainnya.

Yusuf mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan membicarakan manfaat hizbiyah seperti Ikhwan al Muslimun. Pendeknya pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Yusuf Baisa akan kembali ke real salafy. Yusuf juga setuju untuk mengumumkan kepada para aktifis Salafy bahwa dia telah kembali ke jalan yang benar, dengan demikian dia meyakinkan bahwa Salafy harus tetap bersatu. Yusuf juga membuat pertemuan pada bulan Juni 1994 di masjid Utsman bin Affan dekat rumah Ja'far, untuk menyelesaikan persoalan mereka.

Namun Yusuf beberapa bulan kemudian menyatakan hal sama kembali. Pada sebuah ceramah tentang konsep keadilan, Yusuf merekomendasikan tulisan beberapa kalangan Salafy dimana Ja’far menyebut mereka sebagai Sururiyah.
 
Perkembangan pertengkaran antara keduanya semakin memburuk. Yusuf mengadakan diskusi mengkritik buku Ja’far, Sedangkan Ja’far menuduh Yusuf melakukan fitnah, karena itu Ja’far menulis “Gerakan Sururi memecah belah Ummat”. Yusuf merespon pandangan Ja’far dengan mengajak mubahalah.
  Setelah diadakan Mubahalah perpecahan semakin tak bisa dihindari. Ja’far meminta semua kalangan salafy untuk ikut bersamanya atau berhadapan dengannya. Semua guru-guru Salafy yang datang bersamanya yang umumnya berasal dari FKASWJ.

Konflik kedua terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed dan Yazid Jawwas. Kedua tokoh tersebut terbilang mantan murid-murid Ja’far Umar Thalib. Namun kini hubungan antara guru dengan murid terputus sudah, mereka saling membid’ahkan satu sama lain.

Konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed terjadi setelah kembali dari jihad Ambon. Sepulang dari Ambon Ja’far melakukan perenungan dakwah. Diantara perenungannya adalah menyadari telah terjadi kesalahan yang amat fatal dalam melakukan dakwah Salafiyah yaitu terlalu memprioritaskan aqidah sementara itu dalam segi akhlaq tidak terlalu terperhatikan.

Akibatnya, para murid Ja’far sulit untuk toleran terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan manhaj Salafy. Dengan demikian, dakwah manhaj Salafy menjadi ditakuti orang lain, bukan malah sebaliknya dicintai kaum muslimin. Padahal dalam ajaran Islam antara akhlaq dengan aqidah berdiri satu jajar dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Memprioritaskan antara aqidah atau akhlaq akan menimbulkan kepincangan dalam dakwah. Seperti yang dialami kalangan Salafy, masyarakat bukan tidak maumenerima kebenaran ajaran, namun menjadi takut melihat akhlaq da’i yang tidak mempunyai jiwa toleran sama sekali.

Tak hanya itu, kuatnya doktrin dalam rangka membina aqidah berakibat pada keengganan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Hal ini berimplikasi tidak adanya penelaahan terhadap kitab yang ada, sebab segalanya telah diserahkan pada guru (Syaikh). Sikap demikian, pelan namun pasti menimbulkan sikap taqlid, dimana hal ini sangat ditentang dalam manhaj Salafy.

Refleksi pemikiran ini rupanya tak bisa diterima para muridnya. Diantaranya yang menolak pemikiran Ja’far adalah Muhammad Assewed. Menurut Assewed, pemikiran Ja’far ini dianggap sebagai melemahnya sikap Ja’far terhadap ahlul bid’ah. Padahal menurut Assewed, memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajar mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, adalah kesepakatan dalam ajaran salafy.
 
Hasil perenungan Ja’far dianggap sebagai sikap kompromi terhadap bid’ah, karena itu aqidah Ja’far patut dipertanyakan, apakah masih dalam manhaj Salafy atau sudah keluar? Berita ini sampai juga ketelinga para guru di Timur Tengah. Repotnya para guru hanya menerima informasi sebelah pihak, walhasil keluar fatwa dari Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali bahwa Ja’far Umar Thalib sudah keluar dari manhaj Salafy. Tentu saja Ja’far tidak menerima fatwa ini, sebab menurutnya apa yang disampaikan pada para Syaikh hanya kedustaan belaka.

Namun menurut Ja’far, itulah persoalannya, kaum muslimin di Indonesia jangan dibayangkan kalau mereka itu semua mengerti akan agama Islam secara mendetail. Umat Islam di Indonesia, pada umumnya tidak tahu Islam secara mendetail. Maka silang pendapat-pun terjadi, yang berujung pada saling tuding. Sampai tulisan ini diturunkan Muhammad Assewed sudah tak tinggal lagi di Yogyakarta, melainkan di Cirebon kembali membina madrasah Al-Irsyad.

Silang pendapat yang cukup tajam juga terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Yazid Jawaaz . Perbedaan pendapat mengenai apakah kelompok Salafy perlu pergi untuk berjihad ke Ambon. Yazid Jawaaz berpendapat bahwa kalangan Salafy tak perlu berangkat ke Ambon, karena masih ada pemerintah yang bertanggung jawab. Namun, Ja’far dan Assewed berpendapat lain. Bahwa telah terjadi pendzaliman terhadap umat Islam di Ambon dan memerlukan bantuan. Silang pendapat iniberujung pada saling tuding, bahwa Ja’far menganggap Yazid enggan untuk berangkat Jihad, sementara Yazid menuduh Ja’far hanya mencari popularitas saja.

Tak hanya itu, perbedaan pendapat juga terjadi mengenai pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin, antara Yazid Jawwas dengan kalangan Salafy lainnya, menyebabkan Yazid tidak lagi dianggap Salafy. Dalam pandangan Yazid, tidak semua pendapat atau tindakan para tokoh Ikhwan bisa dikategorikan sebagai ahlul bid’ah, sebab merekaadalah para pejuang Islam, yang rela berkorban demi Izzul Islam wal Muslimin.

Namun lain halnya dengan pandangan para Syaikh Salafy terutama yang berada di Timur Tengah, dimana mereka menganggap para tokoh Ikhwanul Muslimun adalah orang-prang hizbiyyah (yang selalu mendahulukan kelompoknya) dan itu termasuk dalam dosa besar.

Setelah terjadi konflik yang berterusan antara Ja’far dengan yang lain, maka gerakan salafy terpecah menjadi semakin jelas antara yang politik dan non politik – terjaring dalam FKASWJ.

Salafy Sururiah
Bagi kalangan Salafy yang mentolerir adanya kehidupan berpolitik lebih sering disebut kelompok Sururiyah. Di Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan salafy yang mendapat gelar Sururiyah atau yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan kalangan salafy Puritan. Mereka adalah Yusuf Baisa, Abu Nida' Chomsaha Sofwan dkk, Abu Sa'ad Muhammad Nur Huda, MA, Arif Syarifuddin, Lc, Abu Ihsan Al Maidani Al Atsary, Afifi Abdul Wadud, Abul Hasan Abdullah bin Taslim, Lc, Abu Abdil Muhsin Firanda,Asmuji (Imam Syafi'i, Cilacap). Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc , Muhammad Yusuf Harun, MA,dan Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad.

Demikian juga dengan kelembagaannya, kalangan salafy politik, relatif bergerak dalam kelembagaan dibandingkan dengan kalangan salafy non politik. Mereka diantaranya adalah Yayasan al-Sofwah, kelompok Yazid Jawwas dan Abdul Hakim Abdat, yang dekat tetapi tidak secara institusional berhubungan dengan al-Sofwah.

Abu Nida', Ahmad Faiz, dan jaringan at-Turots. Kelompok Abu Nida' menerbitkan majalah al-Fatawa, Ahmad Faiz's juga menerbitkan majalah as-Sunnah. Ketiga, majalah, al-Furqon, yang diterbitkan oleh kelompok Annur Rofiq dari Mahad al-Furqon al-Islami, Gresik, yang mempunyai jaringan yang sama.
Yusuf Baisa dan Farid Okbah jaringan al-Irsyad (sangat dekat dengan at-Turots tetapi bukan bagian dari jaringannya). Yayasan al-Irsyad selalu dikritik karena mempunyai acara muktamar tahunan, ini merupakan bukti dari kegiataan hizbiyah.

PP Taruna Al Qur'an, Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc (alumni Madinah, disebut tokoh freeline). PP Taruna Al Qur'an alias L-Datacabang Jogjakarta ini akrab dengan ikhwani dimanapun. L-Data pusat dipimpin (aldakwah.org) Muhammad Yusuf Harun, MA, dai al Sofwa, penerjemah al Al Sofwa Jakarta.

Para tokoh kalangan salafy politik tersebar di berbagai negara dan mereka melakukan pembinaan dengan organisasi non profit (LSM) yang ada di Indonesia. Di antara tokoh Salafy politik internasional adalah, Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin (kini tinggal di London), Abdul Karim Al Katsiri (Saudi Arabia), Syarif Fuadz Hazza (Mesir), Musthofa bin Isma’il Abul Hasan as Sulaimani Al Ma’ribi al hizbi (Yaman). Mereka juga memberikan banyak bantuan pada LSM seperti, As-Sofwah, at-Turots dan lain-lain dalam rangka penyebaran paham salafy politik.

Ketidaksukaan sebagian Salafy seperti as-Sewed (salafy Puritan) kepada lembaga at-Turots merupakan refleksi dari pendirian mentor mereka di Saudi Arabia dan Yaman kepada Abdul Khaliq. Pertentangan ini semakin muncul ketika website salafy memuat pemikiran Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja’far dari kaset yang direkam tahun 1995. Syeikh Muqbil menuduh Abdul Khaliq mencoba untuk memecah komunitas Salafy dengan secara terbuka membagikan uang dinar di Kuwait, Indonesia, Yaman, dan Sudan.

Pertentangan kalangan Salafy diketahui Ja’far sejak awal. Ja’far selain mengenal para Imam Salafy, Ja’far juga mengenal para tokoh Salafy yang dianggap menyimpang dari manhaj Salafy. Mereka adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, dan Abdurahman Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka karena para tokoh ini menganggumi para tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan lain-lain, yang dianggap sesat oleh para Imam Salafy.

Kalangan Salafy yang dianggap menyimpang ini juga mempunyai banyak murid di Indonesia. Bahkan untuk mengkomunikasikan para murid Abdurahman Abdul Khaliq mendirikan lembaga Ihya’ut Turats. Untuk memperdalam komunikasi dengan para murid Abdurahman Abdul Khaliq sering datang ke Indonesia.
Pada tahun 2004 Umar as-Sewed mengkritik ungkapan Abdul Khaliq yangtelah mendiskreditkan para pemimpin Saudi. Menurut as-Sewed, Abdul Khaliq pantas juga diberikan gelar sebagai thaghut, sebagaimana juga diungkapkan oleh semua Syeikh Salafy termasuk bin Baz dan Utsaimin. As-Sewed juga mendorong bahwa ketidaksukaan Abdul Khaliq pada Saddam terjadi baru-baru ini karena adanya perang, karena itu Abdul Khaliq pada dasarnya adalah orang munafik nomer satu.

Dengan demikian jelas, bahwa gerakan salafy di Indonesia sangat amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Timur Tengah. Saling tuding dengan mengatasnamakan agama, menjadi ciri khas dari gerakan salafy. Yang ironis dari kelompok salafy ini adalah mereka mengajarkan doktrin anti taqlid kepada para pengikutnya, namun pada kenyataannya, mereka juga taqlid kepada para Syeikh mereka di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari apa yang terjadi konflik di Timur Tengah maka di Indonesia-pun terjadi konflik.

12 komentar

1234 26 Juni 2013 pukul 22.08

SALAFY GAK PUNYA AMIR YA???

bagus 28 Juni 2013 pukul 16.34

Itulah bukti bahwa semua salafy hizbiyah, taqlid thd kelompoknya, memperuncing perbedaan fiqh dan sangat senang mendirikan firqah-firqah yg sangat dilarang Rasulullah SAW

bagus 28 Juni 2013 pukul 16.40

Justru perpecahan akan menjadikan umat Islam semakin lemah, sadarlah para ustadz salafy jangan saling bermubahalah sangat jauh dari tujuan Rahmatan lil Alamin, membingungkan dan menakutkan ummat. Kalau berani beri fatwa raja saudi untuk mengusir pangkalan amerika dan exploitasi minyak dari negara-negara Islam, jangan cuma bisa memperuncing perang fiqih saja.

about-photo 20 April 2017 pukul 23.44
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown 16 Juni 2018 pukul 01.13

Semoga Allah memberi hidayah kepada penulis

Anonim 17 Januari 2019 pukul 08.46

Itulah firqoh yg sebenarnya bro saling taklid dan menuai permusuhan.

Fokus Dunia 18 September 2019 pukul 01.19

ana yakin kalau imam mahdi muncul
semua salafy akan mengikutinya

Zainal Abidin 25 April 2020 pukul 06.33

Bagaimana mau komen kalau banyak data yang tidak valid

infoBi$ MMS Kendari 22 Agustus 2020 pukul 00.37

jadinya amburadul kalau salafy hanya nama saja

Asrul kolaka 29 Agustus 2020 pukul 07.52

Rodja tv lebih adem

Abbad 5 Mei 2022 pukul 13.36
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Abbad 5 Mei 2022 pukul 13.57

Salafi adalah dakwah yg mengajak kepada pemahaman kepada ajaran Islam yg murni, dimana pemahaman ini hanya berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist2 Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam (termasuk informasi2 dari para sahabat yg bertemu dg nabi secara langsung (salaf), itulah dasar pemahaman ajaran salafi, tanpa diikuti/ memasukan pemikiran2 ataupun perasaan2 yg bisa menyimpang dari ilmu salaf yg sesungguhnya.

Barang siapa yg men-cari2 atau bahkan cenderung mengikuti perbedaan2 pendapat ustadz2 salafi maka dia sdh mengikuti jalan yg keluar dari ajaran salaf.
Dan barang siapa mengambil ilmu dari ustadz2 salafi, semoga Allah memberikan kebaikan2 dan kemudahan2 baik di dunia ataupun di yaumil hisab kelak.

Posting Komentar